Nama saya Java, nama
panjangnya Java Kartanegara, terkadang teman saya memanggil Sumatra, itu hak anda memanggil saya apa, saya apatis untuk sebuah
panggilan. Saya lahir di kasur pada tahun 1997, saya empat bersaudara, saya
bersyukur karena keempat-empatnya saya semua (maksud saya keempat-empatnya
mengalir darah saya).
Ayah saya bernama Nusantara, dia seorang
wartawan di sebuah media terlaris di indonesia, ibu saya adalah ibu-ibu, dia
wanita dan juga yang mengandung saya. Kakak saya yang pertama bernama Samudra,
berjenis kelamin laki-laki, dia bekerja di sebuah stasiun teve di Jakarta.
Kakak saya yang kedua bernama Benua, berjenis kelamin perempuan sama seperti
ibu, dia bekerja di salah satu Bank tersepi di Surabaya, dia tinggal bersama kakek nenek. Adik saya bernama
Senja, dia perempuan dan dia masih bersekolah di salah satu SMA negeri di
Jakarta.
Inilah
kisah saya, bukan kisah yang menarik tetapi saya selalu tertarik dengan kisah
yang saya jalani. Saya akan mencoba mengungkit sebuah kehidupan saya, mungkin
sekitar lima atau enam tahun yang lalu. Saya bingung mau mulai dari yang mana
alangkah baiknya saya akan berdoa terlebih dahulu menurut kepercayaan Atheis.
Suatu
hari di sebuah SMA ternama (katanya) di Jakarta Selatan, di mulainya masuk sekolah siswa baru tahun ajaran 2012/2013. Inilah momen-momen saya bertemu suasana baru
dan teman baru, saya masuk di sekolah ini bersama sahabat saya yang bernama Gandhi,
nama panjangnya Mahatma Gandhi, berjenis kelamin laki-laki, mempunyai paru-paru
dan suka makan hiu.
Beberapa
bulan kemudian, kami siswa baru di kumpulkan oleh kakak kelas kami, mereka
mengajak kami ke sebuah hotel, kami di ajak ke pesta tapi bohong, kami di ajak
ketempat mereka berkumpul dan belajar. Belajar bukan berarti hanya mempelajari
pelajaran melainkan belajar mental serta fisik, benar kami di beri sebuah
pelajaran yaitu hukum adat di sekolah ini, kami di suruh berkelahi satu teman
dengan teman yang lain. Awalnya saya menolak tetapi mereka mengancam akan mengeroyok
saya, apa boleh buat saya hanya siswa kelas satu yang masih polos.
“Melawan
bukan suatu plihan,
kita harus melihat kondisi
serta apa yang akan terjadi
kedepannya, lebih baik diam
dan mencari tahu apa yang
sebenarnya terjadi”
kita harus melihat kondisi
serta apa yang akan terjadi
kedepannya, lebih baik diam
dan mencari tahu apa yang
sebenarnya terjadi”
Senioritas sebenarnya terjadi turun temurun dari Munir
bersekolah mungkin sudah ada, senioritas terjadi karena adanya balas dendam
pada saat awal masuk sekolah. Sebenarnya senioritas ada sisi positifnya ada
juga sisi negatifnya, mungkin yang terlihat di mata masyarakat Thailand
kebanyakan sisi negatifnya. Tetapi tanpa adanya senioritas, murid di zaman
sekarang tidak patuh atau menghormati orang yang lebih tua, yang terlihat hanya
sifat sok jagoan seperti kebanyakan sekarang.
Setelah melewati penyambutan dari kakak kelas, saya
sering berkumpul bersama di sebuah warung yang tidak jauh dari sekolah. Di
tempat ini banyak segala informasi, mulai dari guru bahkan sampai alumni dan
pekerja sekolah juga ada, saya selalu tertawa bila ada kekonyolan dari teman
atau kakak kelas saya. Kami mungkin di cap sebagai siswa yang nakal karena
bukan pergi ketempat bimbel melainkan berkumpul di warung dan menikmati sebuah
asap bagi para penikmatnya.
Saya tidak perduli apa yang di katakan oleh guru atau
orang lain di sekitar sini, yang jelas saya tidak membuat mereka rugi bahkan
miskin, karena kami bukan wakil rakyat tetapi kami adalah wakil sekolah yang
siap membela sekolah ini bila ada yang mau mengancamnya.
Saya sering berkumpul bersama di tempat ini tidak membuat nilai saya jelek, sama seperti siswa yang lainnya, dan tidak juga membuat saya malas.
Saya sering berkumpul bersama di tempat ini tidak membuat nilai saya jelek, sama seperti siswa yang lainnya, dan tidak juga membuat saya malas.
Pada
suatu hari, saya bertemu dengan seorang wanita, dia wanita tulen dan sangat di
kagumi oleh ayahnya. Saya bertemu di sebuah jalan Kenangan, dia sedang
mendorong sebuah sepeda tua terbuat dari lidah buaya, bukan. Dia mendorong
sepeda motor, lalu saya berhenti dan bertanya: “hei, selamat pagi”
“iya pagi” jawab dia,
“lagi olah raga ya?” tanya saya,
“hah?, ini ban gue bocor”jawab dia dengan terheran,
“oh gue kirain, maaf-maaf, mau di bantu gak? Soalnya sebentar lagi masuk” saya memberi tawaran,
“yaudah boleh”jawab kembali.
Akhirnya motor dia saya titipkan di rumah teman saya, yang bernama Malang, dan kebetulan Malang tidak masuk sekolah dan sedang demam.
Akhirnya kami sampai sekolah dengan tepat waktu, dia menghela napas lega, dan terdengar suara dia yang merdu serta berucap: “eh jav, makasih ya, ohiya nanti gausah di temenin buat ngambil motornya”
“makasih doang? Emangnya kenapa?” saya jawab,
“soalnya gue mau rapat osis” jelas dia,
“kan gue juga nanti rapat tapi di warung Budeh”terang saya,
“tapi takut ngrepotin lu”jawab kembali,
“hitung-hitung cari pahala dan buhala”gurau saya,
“hahaha yaudah kalo gitu”dia tersenyum.
Wanita yang tadi bernama Jasmine atau Melati, dia siswi kelas satu sama seperti saya, dan dia anggota osis di sekolah ini. Setelah itu, saya bertemu dengan Gandhi sahabat saya, dia bertanya: “kenapa jav, kayanya lagi seneng nih”
“lu anak indigo ya? (saya bilang begitu karena tebakannya terhadap saya selalu benar, mungkin karena dia selalu bersama saya)” tuduh saya,
“haha mulai kan, emang ada apa?”penasaran dia,
“gapapa, lagi bahagia aja soalnya ibu Bumi gamasuk katanya” saya berbohong,
“oke lah, yang bener? Jangan bikin berita palsu kaya yang lalu-lalu”sontak dia,
“kali ini kemungkinan 50% benernya”saya jawab,
“ah terserah, pembual tetep aja pembual” ledek dia,
“haha awas aja kalo bener” saya kembali menjawab.
Setelah jam pulang sekolah, saya langsung ke kelas Jasmine untuk memberi tahu kalo saya nanti menunggu di depan sekolah. Lalu saya pergi ke warung Budeh untuk melakukan rutinitas siswa. Tiba-tiba bapak Pluto datang, dia guru PKN dan dia juga membidangi wakil kesiswaan, sontak kami terkejut akan kedatangannya,
dan kakak kelas kami berkata: “ada gerangan apa pak? Bapak kemari”
“saya mencari Zaki, ada yang lihat (Zaki adalah kepala suku di sekolah ini)”tanya dia,
“engga pak, bapak kalo kesini bilang pak biar kami sambut dengan hangat, gak kaya sekarang bikin kaget”jawab Bimo(siswa kelas 2),
“tidak ada diskusi buat siswa berandalan kaya kalian ini, eh Ibrahim siapa yang suruh merokok masih memakai seragam sekolah?”tegas ia,
“eh maaf pak lupa, saya kira boleh”jawab ibrahim dengan panik,
“besok kamu keruangan saya”pinta dia.
“iya pagi” jawab dia,
“lagi olah raga ya?” tanya saya,
“hah?, ini ban gue bocor”jawab dia dengan terheran,
“oh gue kirain, maaf-maaf, mau di bantu gak? Soalnya sebentar lagi masuk” saya memberi tawaran,
“yaudah boleh”jawab kembali.
Akhirnya motor dia saya titipkan di rumah teman saya, yang bernama Malang, dan kebetulan Malang tidak masuk sekolah dan sedang demam.
Akhirnya kami sampai sekolah dengan tepat waktu, dia menghela napas lega, dan terdengar suara dia yang merdu serta berucap: “eh jav, makasih ya, ohiya nanti gausah di temenin buat ngambil motornya”
“makasih doang? Emangnya kenapa?” saya jawab,
“soalnya gue mau rapat osis” jelas dia,
“kan gue juga nanti rapat tapi di warung Budeh”terang saya,
“tapi takut ngrepotin lu”jawab kembali,
“hitung-hitung cari pahala dan buhala”gurau saya,
“hahaha yaudah kalo gitu”dia tersenyum.
Wanita yang tadi bernama Jasmine atau Melati, dia siswi kelas satu sama seperti saya, dan dia anggota osis di sekolah ini. Setelah itu, saya bertemu dengan Gandhi sahabat saya, dia bertanya: “kenapa jav, kayanya lagi seneng nih”
“lu anak indigo ya? (saya bilang begitu karena tebakannya terhadap saya selalu benar, mungkin karena dia selalu bersama saya)” tuduh saya,
“haha mulai kan, emang ada apa?”penasaran dia,
“gapapa, lagi bahagia aja soalnya ibu Bumi gamasuk katanya” saya berbohong,
“oke lah, yang bener? Jangan bikin berita palsu kaya yang lalu-lalu”sontak dia,
“kali ini kemungkinan 50% benernya”saya jawab,
“ah terserah, pembual tetep aja pembual” ledek dia,
“haha awas aja kalo bener” saya kembali menjawab.
Setelah jam pulang sekolah, saya langsung ke kelas Jasmine untuk memberi tahu kalo saya nanti menunggu di depan sekolah. Lalu saya pergi ke warung Budeh untuk melakukan rutinitas siswa. Tiba-tiba bapak Pluto datang, dia guru PKN dan dia juga membidangi wakil kesiswaan, sontak kami terkejut akan kedatangannya,
dan kakak kelas kami berkata: “ada gerangan apa pak? Bapak kemari”
“saya mencari Zaki, ada yang lihat (Zaki adalah kepala suku di sekolah ini)”tanya dia,
“engga pak, bapak kalo kesini bilang pak biar kami sambut dengan hangat, gak kaya sekarang bikin kaget”jawab Bimo(siswa kelas 2),
“tidak ada diskusi buat siswa berandalan kaya kalian ini, eh Ibrahim siapa yang suruh merokok masih memakai seragam sekolah?”tegas ia,
“eh maaf pak lupa, saya kira boleh”jawab ibrahim dengan panik,
“besok kamu keruangan saya”pinta dia.
Setelah adanya sidak dadakan yang diadakan bapak Pluto, saya pergi menghampiri Melati yang tadi saya temui, akhirnya saya
bertemu dan memboncengi dia untuk kerumah Malang. Selama di perjalanan saya
bercerita dan lalu kusindirkan bahwa saya menyukai dia sejak dia dilahirkan,
lalu dia hanya tersipu malu dan memerah pipinya dengan mimik muka yang indah.
Mendengar namamu ,
membuatku
riang gembira,
apalagi
bertemu denganmu
membuatku
seperti mayat ,
jantungku
berhenti sejenak
tanpa adanya
syair-syair yang keluar,
kau mampu
menghipnotisku
aku bagaikan
tahananmu,
yang hanya
bisa memandangmu
aku sadar kau
tidak pantas bagiku
aku hanya
seekor kupu-kupu yang malang,
malang
melintang,
kesana kemari
untuk menghirup
semerbak harum
tubuhmu
tanpa
menyentuhmu.
Akhirnya
kami tiba di rumah Malang dan dengan membawakan bingkisan yang kami beli tadi
di jalan, kami ingin sekalian menjenguknya. Setelah itu saya berpamitan dengan
Malang dan ibunya untuk ke KUA, maksud saya ke rumah masing-masing. Mungkin Jasmine akan terpikir sampai ke rumah karena mendengar dongeng-dongeng yang saya ceritakan
dengan menyindirnya bahwa saya menyukai
dia.
Akhirnya saya menghubungi Melati dan menanyakan bagaimana kabar ibu Tuti tetangga sebelahnya, tanpa tersadar kami mengobrol cukup lama bahkan sampai lupa kalo besok akan ada acara pencarian dana untuk mengadakan PENSI (pentas seni) tahunan. Saya juga termasuk sebagai panitia tersebut harus datang pagi dan mempersiapkan sesuatu.
Akhirnya saya menghubungi Melati dan menanyakan bagaimana kabar ibu Tuti tetangga sebelahnya, tanpa tersadar kami mengobrol cukup lama bahkan sampai lupa kalo besok akan ada acara pencarian dana untuk mengadakan PENSI (pentas seni) tahunan. Saya juga termasuk sebagai panitia tersebut harus datang pagi dan mempersiapkan sesuatu.
Hari
berikutnya saya bertemu Jasmine di kantin setelah mengumpulkan dana PENSI,
dia bersama Dahlia dan Mawar(mereka adalah teman dekat Jasmine di sekolah). Lalu saya menegur Jasmine: “eh Mine kapan ban nya bocor lagi”
“ eh jangan dong nanti cape”jawab dia,
“haha kalo cape bareng aja sama gue”ledek saya,
“nanti aja kalo udah sekelas”terang ia (padahal saya dengan dia gak mungkin sekelas karena saya akan memilih kelas sosial sedangkan dia ipa),
“kenapa gak sekalian aja nunggu wakil rakyat merakyat”cetus saya,
“hahaha gamungkin lah”jawab ia dan di iringi senyuman khas dia,
“nah itu tau haha”jawab saya mulai terbawa suasana.
Hari demi hari di lalui dengan suasana yang indah bersama Jasmine atau Melati, entah kenapa sekolah ini terasa berwarna dan terasa tidak ingin melewatkan sedetik pun bersama dia, mungkin ini adalah masa-masa remaja pada umumnya. Saya sangat menikmati setiap kata yang keluar dari mulut Melati, rasanya saya ingin terus mengobrol dengan dia, tidak perduli bahwa dunia ini akan runtuh atau tidak, mau siang apa malam, sungguh saya tidak perduli.
Cerita ini saya akhiri terlebih dahulu, mungkin di lain kesempatan saya akan melanjutkan cerita tersebut dan lebih luas lagi tentang perjalan saya di SMA, karena keterbatasan waktu dan kesempatan ini saya ucapkan terima kasih.
#sabtulis
dia bersama Dahlia dan Mawar(mereka adalah teman dekat Jasmine di sekolah). Lalu saya menegur Jasmine: “eh Mine kapan ban nya bocor lagi”
“ eh jangan dong nanti cape”jawab dia,
“haha kalo cape bareng aja sama gue”ledek saya,
“nanti aja kalo udah sekelas”terang ia (padahal saya dengan dia gak mungkin sekelas karena saya akan memilih kelas sosial sedangkan dia ipa),
“kenapa gak sekalian aja nunggu wakil rakyat merakyat”cetus saya,
“hahaha gamungkin lah”jawab ia dan di iringi senyuman khas dia,
“nah itu tau haha”jawab saya mulai terbawa suasana.
Hari demi hari di lalui dengan suasana yang indah bersama Jasmine atau Melati, entah kenapa sekolah ini terasa berwarna dan terasa tidak ingin melewatkan sedetik pun bersama dia, mungkin ini adalah masa-masa remaja pada umumnya. Saya sangat menikmati setiap kata yang keluar dari mulut Melati, rasanya saya ingin terus mengobrol dengan dia, tidak perduli bahwa dunia ini akan runtuh atau tidak, mau siang apa malam, sungguh saya tidak perduli.
Cerita ini saya akhiri terlebih dahulu, mungkin di lain kesempatan saya akan melanjutkan cerita tersebut dan lebih luas lagi tentang perjalan saya di SMA, karena keterbatasan waktu dan kesempatan ini saya ucapkan terima kasih.
#sabtulis
Comments
Post a Comment